Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada bulan Januari oleh neuroscientist Valorie Salimpoor di Montreal Neurological Institute, musik dapat mengaktifkan sirkuit yang sama di otak sebagaimana ketika kita menikmati makanan dan seks.
Peserta mendengarkan lagu-lagu pilihan mereka dalam scanner PET, yang mendeteksi pelepasan perasaan nyaman dari neurotransmitter dopamine , dan juga dilakukan dalam scanner fMRI, yang mengukur aktivitas otak. Hasil scan menunjukkan bahwa sebelum merasakan perasaan yang menyenangkan dalam menanggapi musik, pendengar mengalami kejutan dopamin dekat striatum frontal, daerah otak yang mengantisipasi rangsangan, diikuti oleh banjir dopamin di striatum belakang, tempat pusat kesenangan otak. “Ini seperti Anda ketagihan,” kata Salimpoor. Bahwa siklus dari keinginan inilah yang meyebabkab ketagihan dan perasaan senang.
Tentu saja tidak semua musik diciptakan sama, ahli Biologi Nick Hudson dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation di Australia bertanya-tanya apa yang membedakan lagu yang biasa dengan lagu yang abadi. Dia mengusulkan bahwa satu perbedaan kunci mungkin ditemukan melalui kompresi lossless, yang mengeksploitasi pengulangan dalam musik untuk menyandikan data audio dalam bit yang lebih sedikit tanpa kehilangan konten. Ketika Hudson membandingkan hit kontemporer dan klasik yang telah dikompresi, ia menemukan bahwa pop, rock, dan techno dikompresi sampai 60 atau 70 persen dari ukuran aslinya, sementara klasik seperti Beethoven Symphony Ketiga , hanya 40 persen.
Ia menduga bahwa daya tarik karya-karya klasik ‘mungkin berasal dari sebuah kesederhanaan yang tersembunyi. Komponis yang ingin membuat karya mereka abadi, mungkin melakukannya dengan baik untuk menciptakan sebuah karya yang terdengar rumit tapi sebenarnya dibangun di atas dasar pola yang sederhana.
Sumber : artikelbebas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar